1. Dream
“Dia pria dari Phoenix itu.”
Aku memperhatikan pria itu berjalan memasuki Bungo Cafee. Dia tinggi besar dan cara berjalannya seperti pria kulit hitam di video clip 50 cent. Aneh, padahal dia kulit putih.
“katanya tadi lo mau menemuinya.” Suyono memperhatikan.
“Kurasa tidak jadi.” Entah mengapa aku tiba-tiba merasa gugup. Aku bukan seorang yang mengakui superior dari suatu ras atau sebagainya. Tapi saat ini aku benar-benar merasa tidak bisa berbicara dengan pria itu. Dia terlihat tidak tersentuh. “Ayo pulang.”
***
Musik apa yang kau dengar? Itu pertanyaan yang membuat ku pertama kali serius mendengarkan musik. Pertanyaan itu yang sekarang ku sebut sebagai hal yang menyesatkan hidupku. Terdengar berlebihan tetapi setiap kupikirkan lagi, kenyataannya memang seperti itu. Aku berada di dunia yang tidak seharusnya aku berada. Mungkin jika gadis itu tak menanyakan pertanyaan itu, aku sudah hidup lebih baik saat ini.
Entah dimana gadis itu sekarang, dan entah aku akan terus-terusan seperti orang bodoh memetik 6 senar itu walaupun aku tahu, aku tidak memilik sense irama yang baik. Apa yang akan ku lakukan untuk hidupku ke depan aku bahkan tidak tahu. Jika terus bermusik aku akan hancur sendiri.
Tentu saja aku tidak menyalahkan music. Bagiku music adalah segalanya, music adalah satu-satunya hal yang waras di dunia ini. Sebut saja Jim Hendrix, John Lennon, Michael Jackson, B.B King, Iwan Fals band band besar seperti Rolling Stone, Nirvana, The Beatles, Green Day, Couldplay, Avenged Sevenfold mereka orang-orang yang membentuk dunia ini. Tidak berlebihan, lagu mereka tak sedikit menyelamatkan hidup para remaja di eranya. Apa yang kau lakukan saat patah hati? Hampir semua orang akan menghibur dirinya dengan music. Dan tak sedikit yang menjadi terinspirasi dari liriknya yang membangun. Musik terkadang menjadi sesuatu yang menuntun.
Tahun baru beberapa hari yang lalu kuhabiskan di apartmentku hanya mendengar “imagine” dari John Lennon. Dan reff nya terus mengingang di kepalaku ‘you may say I’m a Dreamer, but I’m not the only one.’ Lirik lagu ini sangat menghiburku. John Lennon adalah seorang pemimpi, dan dia bukan satu-satunya di dunia ini. Dan aku tidak malu lagi untuk menjadi seorang pemimpi. Semua orang hebat adalah pemimpi, begitu pikirku.
Tiba-tiba ada ketukan dari jendela kamarku, kuintip dan disana Suyono berdiri membawa sebuah ransel converse besar. Kurasa itu Converse palsu, jahitannya sudah terbuka disana-sini.
“Ini jendela.” Kataku seperti guru bahasa yang menjelaskan sebuah benda.
“Bisa masuk?” Suyono cengar cengir, sambil menepuk-nepuk ranselnya, kuharap senyum itu bukan pertanda dia ingin menginap.
“Ini Jendela… jendela.”
Beberapa menit kemudian, Suyono sudah duduk di depan laptop ku. Aku menatap orang yang seenak jidatnya ini cengar cengir di depan layar LCD itu, sepertinya dia chating lagi dengan seorang gadis. Dia teman baik ku saat ini, dia yang mengajariku gitar 2 tahun yang lalu. Tapi dia bukan seorang gitaris, dia seorang drummer yang handal.
Perasaanku tiba-tiba tidak enak dan ingin memastikan sesuatu, lagi pula aku penasaran, gadis mana lagi yang di bodohinya. Aku mengintip di balik punggungnya.
“Itu akun gue bodoh!”
“Ah, iya, gue lupa sign out. Maaf maaf.”
Ini entah sudah yang keberapa kali dia chating dengan menggunakan akun MSN ku dan terkadang sesuka hatinya merubah status orang. Bahkan dia pernah menulis status MSN yang begitu memalukan tentang nasehat kepada seorang gadisnya. ‘Lady, be brave, you can do it, maybe he is the one for you, but I’m the right man for you.’ Dan itu di tulis dalam akun ku. Entah sengaja atau apa, yang jelas seseorang yang membacanya akan melihatku sebagai pria labil.
Suyono ini memang pria mengerikan, bahkan dia pernah sesuka hati membalas chating dari gadis yang menjadi gebetanku. Dan dia melakukannya disaat yang tepat saat hubunganku dengan gadis itu tengah tidak sehat, hasilnya aku di cap sebagai pria labil. Dan yang jelas aku tidak bisa menjelaskan pada gadis itu kebenarannya. Dia akan semakin marah tentu saja. Bahkan surat permohonan maaf pada gadis itu di tulisnya dengan gaya labil menggunakan akun facebook ku. Tapi karena aku tidak begitu peduli, kubiarkan saja.
“Gue bermalam disini ya.” Katanya beberapa saat kemudian.
“Terserah sih, tapi besok gue ada acara di Salihari.”
“Hmm, gapapa kan.”
“Gapapa sih.” Jawabku, padahal aku menginginkan dia merasa tidak enak dan pulang saja.
“Ngapain di Salihari?
“Disana ada semacam acara award gitu. Teman gue yang fotografer minta nemenin. Si Erick.”
Suyono terlihat kecewa, dia mengambil sesuatu di tas nya, dan itu sebuah demo CD. "Padahal gue mau ngajak lo besok ke suatu tempat. Barangkali itu mimpi mu."
Semua orang selalu berbicara tentang mimpi-mimpi. Semuanya ingin akhir yang bahagia, ujung-ujungnya adalah orang sukses. Kalau begitu, intinya semua orang itu sama. Yah walaupun kadang jalan mereka kesana tidak selalu mulus dan berakhir aneh. Ku sebut aneh karena memang aneh. Sebut saja para Teroris, apa ada yang pernah membayangkan apa mimpi mereka dulu, saat doktrin keagamaan yang berbeda merasuk otak mereka. Apakah mereka juga bermimpi indah? Entahlah... walaupun aku sangat ingin tahu.
Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Suyono, tetapi melihat apa yang kulakukan saat ini dengan musik, mungkin dia berpikir aku bermimpi menjadi seorang seperti John Lennon. Walaupun tentu saja aku tidak ingin menikahi seorang wanita Jepang, ataupun mati tertembak di depan penggemar ku. Aku masih benar-benar tidak tahu tentang mimpiku, aku tidak percaya dengan firasatku yang mengatakan; musik akan menghancurkan ku. Aku hanya ingin sukses seperti kebanyakan orang, dan dimana jalanku menuju kesana aku masih memikirkannya.
Suyono kemudian memasukan CD demo itu kedalam laptop, dan sebuah musik mulai terdengar.
"Lamb of God? Apaan deh."
"Merlyn, band Gothic dari Kalimantan. Keren ga?"
"Mainnya lumayan sih, tapi gue ga terlalu demen yang kaya gitu."
"Gue juga sih, tapi kakak gue sih bilang, mereka bagus."
"Kakak lo mah pasti ngerti, minggu lalu bukannya kakinya keseleo waktu mousing?"
"Udah sembuh sih."
"Trus, apa hubungannya ama gue?"
Suyono mengecilkan suara musik itu, dan mulai berkata, "Mereka kemari karena mau buat desain buat cover album indie mereka. Kabarnya sekalian jalan-jalan, nah kakak gue ngajak mereka buat konser di salah satu acara kampusnya, tapi mainnya bukan di kampus, semacam acara khusus gitu, ga tau acara apaan, dan mereka butuh band tambahan."
Aku mengangguk-angguk mengerti. "Apa bandnya harus ghotic metal gitu?"
Suyono tampak sedikit berpikir. "Wah gue belum nanyain. Hm, bener juga lo..., apalagi judul acaranya Burn in Blood."
"Serem juga... ga ah gue."
"Ya elah, penakut banget sih lo... baru denger judulnya udah sayup."
Bukan takut, sebenarnya gue ga pernah merasa bisa nyambung dengan anak-anak dari band seperti itu, walaupun gue tahu aslinya orangnya ramah-ramah, ga seseram saat tampil, tapi ga tau kenapa gue merasa ga cocok. Barangkali dikehidupan sebelumnya gue salah satu para panglima gereja yang membakar para penyihir di jaman dulu.
(wait the next update)